Under category | bagaimana cara kita mendidik anak-anak kita? | |||
Creation date | 2010-01-28 03:47:27 | |||
Article translated to
|
العربية English Español Русский | |||
Hits | 17480 | |||
kirim halaman ini ke teman anda
|
العربية English Español Русский | |||
Share Compaign |
hukum-hukum tentang anak dalam islam-memberinya nama, meng-‘aqiqah-nya dan menguatkan garis keturunannya
setelah anak lahir di sunnahkan untuk di perdengarkan adzan di telinga kanannya, hal ini mencontoh perbuatan rasulullah saw. karena beliau saw. memperdengarkan adzan untuk hasan ra[1]. dengan hal ini maka kalimat pertama yang di dengarkan oleh bayi ialah kalimat tauhid sehingga setan menjauh darinya sejak ia masih kecil, di sunnahkan untuk memberikan ucapan selamat dengan mengatakan:
“buurika fil mauhuub wa syakaratil waahib, wa balagha asyaddahu wa ruziqat birruhu”[2].
di sunnahkan untuk meng-‘aqiqah-kannya (memotongkan dua ekor kambing untuk bayi laki2 dan seekor kambing untuk bayi perempuan) di hari ke tujuhnya dengan hal ini di harapkan agar ia panjang umur dan sehat selalu dengan izin allah swt., hal ini sama dengan berkorban, daging tersebut di masak dan mengundang orang untukmakan lebih baik daripada membagikannya dengan mentah, tidak boleh dua orang berkongsi atau bergabung dalam melakukan ‘aqiqah karena tidak adanya dalil mengenai hal tersebut[3].
untuk meng-‘aqiqah ialah memotongkan dua kambing yang sepadan buat bayi laki-laki dan seekor kambing buat bayi perempuan[4]boleh mengakhirkan dari waktunya jika tidak mendapatkannya[5]seperti mengakhirkannya sampai hari ke 14-nya atau hari ke 21-nya. atau pada hari2 yang lain.
dalam melaksanakan sunnah ini terdapat beberapa faidah, sebagai berikut:
1.sesungguhnya setan akan mengintai bayi sejak ia di lahirkan kedunia ini, setan berusaha agar bayi tersebut jauh dari fitrah (islam) oleh karena itu dengan melakukan ‘aqiqah adalah merupakan upaya untuk membebaskan bayi tersebut dari cengkraman atau penguasaan setan[6], rasulullah saw. bersabda:
“setiap anak terbelunggu dengan ‘aqiqah di sembelihkan (kambing) untuknya di hari ke tujuhnya”.[7],[8].
kemudian seyogyanya orangtua memberikan nama anaknya dengan nama yang di syari’atkan, pemberian nama tersebut sebaiknya di lakukan setelah anak di lahirkan secara langsung atau di hari ke tujuhnya[9], nama yang di pilihkan untuk anak adalah nama-nama yang terbaik , karena seorang anak jika sudah besar nantinya senang untuk menyamakan namanya yang baik dengan aktivitasnya dan tidak senang melakukan yang berlawanan dengan arti dari namanya yang indah[10]pemberian nama adalah hak seorang ayah akan tetapi bermusyawarah dan meminta pendapat saudara-saudaranya dan ibunya adalah baik untuk menciptakan suasana yang ramah[11].
nama-nama yang paling di senangi oleh allah swt. ialah abdullah, abdurrahman, dan memberikan nama seperti nama-nama nabi dan rasul serta nama-nama orang-orang yang sholeh, kemudian setiap nama-nama yang mubah yang tidak di larang oleh agama, di haramkan setiap nama yang bermakna penghambaan yang tidak di sandarkan kepada allah swt. seperti: abdu nnabi (hamba nabi), abdu ka’bah (hamba ka’bah) dan lain-lain sebagainya, kemudian juga orangtua jangan menamakan anak-anaknya dengan nama-nama orang kafir atau pemimpinnya seperti: fir’aun, al jabaabirah dll, juga jangan menamainya dengan nama-nama setan seperti: khinzib, walhaan, al a’waar, al ajdaa’, al habbaab dll, demikian juga jangan menamainya dengan nama-nama yang terlalu memuji dan menyanjung seperti: barrah, aflaha, yasaar, najiih, barakah, ya’la, iman, huda, mallaak dll, tidak boleh juga menamai anak-anak dengan nama-nama yang tidak di senangi seperti: hudzn (yang selalu bersedih), ‘aashiyah (yang selalu berbuat maksiat) dll, dan di makruhkan memberikan nama dengan nama-nama malaikat[12].
di haramkan menamai anak dengan nama: sayyid waladu adam atau sayyid al basyar karena gelar ini adalah hanya untuk rasulullah saw.adapun larangan untuk menggabungkan memberi nama dengan nama rasulullah saw. dan kuniyahnya adalah hanya di waktu rasulullah saw. masih hidup, karena setelah rasulullah saw. meninggal ada empat dari anak sahabat yang di namakan dengan muhammad dan di beri kuniya abu qaasim[13].
demikian juga dengan anak perempuan di beri juga nama-nama wanita-wanita yang sholehah dari umat-umat yang terdahulu, atau dengan nama-nama para shahaabiyaat (sahabat perempuan) atau wanita-wanita sholehah setelah mereka seperti nama: asiyah, haajar, sarah,maryam, nama-nama isteri rasulullah saw. dan putrinya.
setelah bayi lahir harus di tetapkan garis keturunannyaatau nasabnyakarena hal ini berkaitan dengan hak-hak syar’i yang lain seperti perwalian, perawatan, yang menyusukan, warisan, wasiat, waqaf, hibah, nafkah dan hal-hal lain yang termasuk hak bagi anak tersebut dan hak kedua orangtua, saudara dan kerabat[14].
di tetapkan garis keturunan seorang bayi setelah ia di lahirkan oleh ibunya yang masih bersuami atau yang sedang menjalani masa ‘iddah setelah masuknya suami minimal eman bulan, jika anak tersebut tidak di ketahui nasab atau garis keturunannya dan ada seorang laki-laki yang mengakuinya maka anak tersebut di nisbahkan kepadanya dengan syarat ia bisa menghasilkan anak atau tidak impoten, dan tidak ada laki-laki lain yang menentangnya, hukum ini di bahas panjang lebar di dalam kitab fiqhi[15].
--------------------------------------------------------------------------------
[1][1]lihat tuhfatul mauduud oleh ibn qayyim, hal:21-22.
[2]lihat al mughni oleh ibn qudaamah, hal: 11/125.
[3]lihat syarhul mumti’ oleh ibn utsaimin, 7/539.
[4]lihat al ‘iddah syarhul umdah oleh bahaa’uddin al maqdasi, ha: 210-211.
[5]lihat syarhul mumti’ oleh ibn utsaimin, hal: 7/536-537.
[6]lihat tuhtaul mauduud oleh ibn qayyim, hal: 50.
[7]tirmidzi al adhaahi (1522), an nasaai al ‘aqiqah (4220), abu dauud ad dhahaaya (2838), ibn majah adzdzabaaih (3165), ahmad (22/5), ad daraami al adhaahi (1969),
[8]di keluarkan oleh abu daud di sunannya, pada kitab tentang al adhaahi, bab tentang ‘aqiqah (259/3), no hadits: 2837.
[9]lihat syarhul mumti’ oleh muhammad bin shalih al utsaimin, 7/540.
[10]lihat za’aadul ma’aad oleh ibn qayyim, 3/17.
[11]lihat syarhul mumti’ oleh al utsaimin, 7/545.
[12]lihat tuhfatul mauduud oleh ibn qayyim, hal: 93-99, dan syarhul mumti’ oleh ibn utsaimin hal: 7/543-545.
[13]lihat sumber yang telah lalu.
[14]lihat at thifl fi syari’atil islaamiyah oleh muhammad sholeh,hal: 76.
[15]lihat al ‘iddatu syarhul ‘umdah oleh bahaa’u ddin al maqdasi, hal: 432-434.