Under category | Pembahasan Seputar Aqidah | |||
Creation date | 2013-05-09 00:59:40 | |||
Hits | 1010 | |||
Share Compaign |
Hubungan antara nash dan akal
Dengan berkumpulnya nash dan akal akan memudahkan untuk memahami hakekat syar'iyah. Nash tidak mampu memberikan faidah apa-apa tanpa adanya akal, demikian pula, akal tidak dapat memberi sumbangan apa-apa tanpa di barengi nash. Sehinggga, dengan berkurang salah satu dari keduanya, akan menjadikan berkurangnya untuk bisa memahami kebenara. Akan tetapi, bila terjadi kontradiksi dalam kaca mata dhohir, maka nash lebih di dahulukan dari pada akal. Karena nash adalah ilmu dari Allah yang Maha sempurna, adapun hasil pemahaman akal merupakan ilmu makhluk yang banyak kekurangannya.
Akal itu tak ubahnya seperti penglihatan, sedangkan nash adalah cahayanya. Orang yang punya penglihatan mata, tidak mungkin bisa melihat pada tempat yang gelap gulita. Demikian juga akal, tidak bermanfaat dengan pemikirannya tanpa di barengi dengan nash. Seberapa besar cahaya itu ada, maka mata akan banyak mengambil manfaat. Dan seberapa banyak wahyu yang dijadikan sebagai penerang, sebesar itu pula akal memperoleh petunjuk. Sehinggah dengan kesempurnaan akal dan nash, menjadi sempurna hidayah dan petunjuk. Sebagaimana, sempurnya pandangan di siang hari bolong. Allah azza wa jalla:
﴿ أَوَ مَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٢٢﴾ [ الأنعام :122]
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?". (QS al-An'aam: 122).
Orang yang berakal akan mengambil manfaat dengan akalnya di dunia, sebagaimana pemahaman akan memberi manfaat bagi binatang, burung serta hewan melata. Di mana, mereka pergi dan turun pada waktu tertentu, saling mengenali dengan yang lainnya, paham tempat tinggilnya, membikin sarang, serta mengerti siapa musuhnya.
Akan tetapi, seseorang tidak mungkin bisa memperoleh petunjuk dengan akalnya, secara rinci, kepada Rabbnya melainkan harus di iringi dengan wahyu yang turun kepada NabiNya. Tidak mungkin seorang manusia bisa sampai kepada Allah melainkan harus dengan cara tersebut. karena tanpa adanya wahyu dia berada di dalam kegelapan. Sebagaimana yang Allah ta'ala terangkan dalam ayatNya:
﴿ (ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِۗ ٢٥٧﴾. [البقرة :257]
"Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran)". (QS al-Baqarah: 257).
Allah ta'ala mengatakan dalam ayat di atas: ' Dia mengeluarkan mereka'. Karena mereka tanpa adanya wahyu masuk di dalam kegelapan. Dan sebagaimana cahaya itu cuma satu, walaupun berbeda jenisnya, cahaya dan api. Begitu pula wahyu, maka dia cuma satu walaupun berbeda penamaannya, al-Qur'an dan Sunah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ ٥٩﴾. [النساء :59]
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya". (QS an-Nisaa': 59).
Oleh karen itu, barangsiapa yang mengklaim bahwasannya dia bisa mendapat petunjuk kepada Allah hanya dengan menggunakan akalnya tanpa wahyu, maka dia sama dengan orang yang menyatakan, sesungguhnya bisa memperoleh petunjuk kepada jalanNya hanya menggunakan panca indera mata tanpa cahaya. Sehingga keduanya termasuk orang yang mengingkari ilmu yang sudah pasti. Yang pertama hidup tanpa agama dan yang kedua tanpa dunia.
Dan wahyu di namakan oleh Allah ta'ala ibarat cahaya yang dapat memberi petunjuk bagi setiap makhluk. Hal itu seperti yang di terangkan dalam salah satu firmanNya:
﴿فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٥٧﴾ [ الأعراف :157]
"Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung". (QS al-A'raaf: 157).
Cahaya tersebut yang memberi petunjuk para Nabi, dan memberi petunjuk kepada para pengikut nabi.
Selanjutnya, kita harus pasrah terhadap apa yang telah di perintahkan oleh Allah azza wa jalla dalam wahyuNya, begitu pula dalam laranganNya. Kita mempercayai apa yang diberitakan olehnya, jika kita mengetahui alasannya, kita katakan kami beriman. Bila tidak bisa di pahami maka kita katakan kami beriman dan tunduk. Tidak semua yang bisa di pahami dapat di ketahui oleh setiap akal, lantas bagaimana dengan sesuatu yang tidak mungkin di ketahui oleh akal, dengan maksud ingin menyatukan diatas wahyu setiap akal ?!
Dan barangsiapa yang mengatakan: 'Aku tidak mengimani melainkan dengan perkara yang mungkin di pahami oleh akal, dari hukum Allah, adapun yang tidak bisa di mengerti oleh akal maka aku tidak beriman dengannya'. Maka, ini termasuk orang yang mengedepankan akal dari pada nash.
Sesuatu yang tidak bisa di mengerti oleh akal bukan berarti tidak ada bentuknya, akan tetapi, wujudnya tidak terjangkau oleh akal pikirannya. Karena akal pikiran mempunyai batasan akhir, yang sampai pada puncaknya, sebagaimana pandangan juga mempunyai batasan yang hanya terjangkau oleh penglihatan, akan tetapi, bukan berarti alam semesta serta wujud yang ada di atasnya berhenti dan tidak ada. Begitu pula pendengaran, juga mempunyai batasan suara yang bisa di dengarnya, oleh karena itu suara semut tidak bisa dia dengar, dan di luar sana ada tempat yang luas, planet dan bintang gemintang yang tidak bisa di lihat.