Under category | Jenis-Jenis Bid’ah dan Berbagai Kondisi Para Pelakunya | |||
Creation date | 2013-05-16 17:47:22 | |||
Hits | 1305 | |||
![]() |
![]() |
![]() |
Share Compaign |
![]() |
Yang perlu diingatkan dalam masalah ini bahwa mendiamkan ahli bid’ah adalah dari bab pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ibadah, maka harus ada dua syarat diterimanya, yaitu:
Pertama, ikhlas: ia adalah timbangan ibadah dalam batinnya. Maka yang mendiamkan ahli bid’ah harus bertujuan memberi nasihat karena Allah subhanahu wa ta’ala, bagi kitab-Nya, rasul-Nya, dan bagi semua kaum muslimin, dan bertujuan menutup pintu bid’ah, dan mencela pelakunya agar kembali kepada sunnah, tanpa adanya tujuan-tujuan lain dari sisi hawa nafsu belaka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Apabila hal ini sudah diketahui, maka mendiamkan yang syar’i merupakan amal ibadah yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Taat harus ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan sesuai perintahnya. Maka siapa yang mendiamkan karena hawa nafsunya atau mendiamkan yang tidak diperintahkan, berarti ia keluar dari kriteria hal ini.[1]
Kedua: Mutaba’ah, yaitu timbangan amal secara lahir:
Mendiamkan ahli bid’ah harus berdasarkan beberapa catatan yang berdiri di atas kaidah menjaga mashlahat (kebaikan) dan menolak kerusakan. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata: ‘Disyari’atkan hajr adalah dalam lingkaran kriteria-kriteria syar’i yang dibangun di atas dasar menjaga mashlahat dan menolak kerusakan.’[2]
Sehingga bisa terealisasikan penyebab yang mengharuskan hajr (mendiamkan), harus dipastikan beberapa perkara: